Pemilu, si pembuat pilu


Pemilu, si pembuat pilu


Bayangkan jika Anda berkeinginan kuat ikut memilih dalam Pemilu 2009, namun Anda tak tercatat dalam DPT, meski Anda adalah warga yang jelas, memiliki KTP maupun berdomisili lama di tempat Anda tinggal sekarang. Hati Anda sedikit banyaknya akan pilu, tak bisa menyalurkan hasrat demokrasi lima tahunan ini.

Jika Anda seorang caleg yang telah terdaftar resmi di KPU dan telah banyak mengeluarkan biaya untuk persiapannya, namun di hari pemilihan itu nama Anda tak tercantum atau ada di kota saya tak memiliki nomor urut caleg, tidakkah perasaan Anda pilu dan marah?

Belum lagi laporan rendahnya partisipasi pemilih karena jadwal pemilu yang berdekatan dengan liburan akhir pekan yang panjang (long weekend), serta berbagai jenis kecurangan dalam proses pemilu kita dengar, baca dan saksikan dalam hingar-bingar berita pemilu tahun ini, membuat kita geleng-geleng kepala. Sedih dan masygul, tapi itulah realitas pemilu kali ini, pemilu ketiga dalam era reformasi, setelah 1999 dan 2004. Pemilu terburuk dalam era reformasi, begitu yang diklaim beberapa praktisi pemilu, analis politik maupun orang partai sendiri.

KPU meminta maaf seraya bilang, tak ada pemilu sempurna. Begitu naif dan bodohnya pernyataan terakhir. Kita bukan bicara soal kesempurnaan, tapi relativitas pemilu yang baik, pemilu yang melewati standard yang diinginkan rakyat Indonesia. Pemilu yang setidaknya sama kualitasnya dengan Pemilu 2004. Bukan hari ini harusnya lebih baik dari hari kemarin?

Panwaslu dan Bawaslu kebanjiran pengaduan. Partai-partai sudah ancang-ancang akan menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Sementara lembaga survei berebut nama lewat penayangan quick count yang lebih banyak mematahkan semangat orang dan memupuskan harapan lebih cepat daripada seharusnya.

Jika prediksi pakar kesehatan mental akan banyaknya caleg yang stres akibat kegagalan dalam pemilu, maka dengan kondisi pemilu yang berselemak-peak ini, tentu makin banyak caleg yang stres dan marah, seraya menuding KPU lah yang merusak cita-cita mereka.

Tak mudah memang di negara yang reformasinya baru berumur 11 tahun ini menggelar pemilu yang diikuti oleh 150 jutaan pemilih, dengan kerepotan multipartai dan banyaknya kamar legislatif, serta mungkin alasan klasik, kurangnya dana. Tapi, jika Pemilu 2004 bisa digolongkan sukses, kenapa 5 tahun setelah itu justru makin buruk pelaksanaannya?

Menyalahkan KPU semata tidak juga adil, jika memang UU dan peraturan serta DPR beserta pemerintah yang merumuskan dan mengesahkan rule of game tidak mengantisipasi persoalan dari awal secara telaten, tidak juga mempertimbangkan cukupnya waktu untuk bisa sempurnanya pelaksanaan tahap-tahap pemilu sejak KPU dibentuk maupun perangkat hukum yang disiapkan. Misalnya, bagaimana konsekuensi dari tertukarnya surat suara? Siapa yang bisa dihukum? Apakah kompensasi bagi caleg yang jadi korban? Pertanyaan umumnya, sudah siapkah bangsa ini dengan pelaksanaan pemilu yang memilih nama caleg langsung dengan cara mencentang?

KPU dan perangkat di kelurahan mestinya dipertanyakan juga komitmen mereka bagi majunya bangsa ini, jika masih banyak keluhan soal Daftar Pemilih Terdaftar (DPT). Misalnya, ada simpatisan partai-partai tertentu (biasanya bukan partai yang berkuasa) yang tak terdaftar secara sengaja dalam DPT. Kasus Mandra dan simpatisan partainya di Jakarta bisa jadi salah satu contoh buruknya penanganan isu DPT.

Bahkan, teman saya yang jelas diketahui simpatisan partai tertentu tidak tercantum dalam DPT meski ia memiliki KTP di kelurahan. Yang saya takutkan dari isu DPT, jika ini caranya kelompok berkuasa memanfaatkan elemen KPU yang bertalian erat dengan aparat pemerintah untuk menjegal parta-partai yang dianggap saingan dalam meraih suara?

Sejak dari pemilu walikota 2007, pemilu gubernur 2008 dan Pemilu legislatif 2009 di kota saya ini, Pekanbaru, saya sering mendengar teman-teman maupun sanak famili saya yang tidak terdaftar dalam DPT, padahal mereka memiliki KTP di tempat domisili. Sudah saatnya, semua pihak di negeri ini membereskan dugaan manipulasi DPT ini, karena ini tak ubahnya dengan praktek zaman Orba ala Soeharto.

Kalau ada yang ingin menang pemilu dengan cara-cara Soehartois, maka aiblah bagi bangsa ini yang dengan gagahnya mengklaim memiliki pemilu demokratis maupun telah memasuki zaman reformasi. Anggota KPU memang tidak seharusnya berebut pergi ke luar negeri untuk sosialisasi pemilu, tapi membereskan penyakit-penyakit pemilu dari zaman dahulu, termasuk akses warga untuk bisa menyalurkan hak konstitusionalnya.

Ah, saya hanya berharap ongkos mahal yang dipakai untuk pemilu, oleh siapapun yang memodalinya, memang ada manfaatnya bagi perbaikan bangsa ini di lima tahun mendatang. Orang-orang yang berniat baik untuk memperbaiki bangsa ini mendapat balasan dariNYA, dan mereka yang berniat dan berbuat buruk juga mendapat ganjaran setimpal. Semoga Pemilu tak lagi jadi pembuat pilu.
 

 Kembali

Halaman
1

Web Hosting