Mau diapakan dunia ini?


Mau diapakan dunia ini?



Mau diapakan dunia ini?

Saat tulisan ini diangkat, imperium kapitalisme global sedang terombangambing oleh badai krisis finansial. Ada judul kolom pagi ini kubaca “The end of Economics..” [www.detik.com]; kemarin lusa ada tulisan bertajuk kedengaran seperti “Orang Amerika Hidup dari Utang.” Ada beberapa tulisan CEO Jawa Pos Dahlan Iskan di beberapa gurita persnya menjelaskan bagaimana kerakusan benefit telah menyebabkan orang menuntut untung terus di dalam “berbisnis.” Di Kompas.com malah tulisan mengajak kita kembali ke perekonomian berbasis UUD 1945.

Apakah saya ketawa, sedih, miris, heran, atau bingung? Tentu saja beragam perasaan ini, apalagi bingung juga diri ini mau mendesain persiapan esok berkaca dengan mayoritas yang terlihat.

Singkapan media bahwa abang adik Lehman tumbang, disusul nama-nama beken pebisnis keuangan lainnya, disusul anjloknya bursa saham global (seakan maknyus rasanya memakai kata global ini, ikut bandul kapitalisme lah hayy) telah mencemaskan negeri ini. Presiden dan menteri-menterinya rapat tiap sebentar dengan wajah tidak cerah. Kata bos republik ini, krisis ekonomi akan panjang.

Lalu, kata Dahlan Iskan, Singapura dan Hongkong yang akan parah imbasnya karena menjadi pusat dan perpanjangan tangan raksasa kapitalis global. Di media yang kubaca, beberapa pengrajin eksport di daerah mengeluh karena tidak bisa lagi menjual produk ke Amerika dan Eropa. Harga sawit menukik, karet turun, minyak mentah turun. Harga emas yang naik.

Di penghujung akhir tahun, sebelas tahun silam, saya melihat di teve sebuah hotel di Jayapura, Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad tergopoh-gopoh dikejar wartawan menanyakan krisis moneter yang mulai melanda negeri ini dan negara-negara Asia lainnya. Dan kita tahu, krismon 1997/1998 telah meremukredamkan negeri ini, terjerembab dari janjijanji macan Asia. Mulailah saya ingat dengan kafe tenda, para artis bikin kafe. Lalu, rezim lalim jatuh, chaos sosial di beberapa tempat. Perubahan angin, katanya repormasi. Waktu itu kita seperti dapat kesadaran dan kebangkitan baru. Ahh, ternyata cuma si eforia yang bergembira ria. Paradigma baru hanya janji. Reformasi total hanya mimpi basah di atas bantal.

Haruskah saya ketawa atau cemas saat ini? Saya cuma berusaha mencari celahcelah, secara awam ‘menspekulasikan’ (terlalu berat memakai “memikirkan” karena memikirkan ekonomi rumah tangga saja sudah bukan main sulitnya, he he he). Oya, sampai dimana terputus tadi? Ya, kalau saja kita benarbenar membesarkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM atau SMEs) tentu saja kita kuat. Kalau desentralisasi dan otonomi benar benar berjalan tentu saja makin baik.

Tapi apa yang dilihat? Para pedagang kecil tergusur dari Tanah Abang (dimulai dari kebakaran, upss, ntar aku disomasi lagi) ataupun pasar-pasar yang sengaja direhab untuk dimahalkan sewanya. Lalu, orang berjualan kakilima di semua negeri ini digaruk tramtib atau satpol dengan kekuatan pentungan yang benarbenar pol. Pedagang asongan dikejar kejar.

Pasar tradisional dibiarkan mati, diserang oleh supermarket alias pasar swalayan modern. Ramayana tak lagi banyak tayang di pertunjukkan wayang, tapi menyerang pasar-pasar rakyat hingga ke kota-kota kecil. Jika di Perancis, Carrefour boleh hanya di pinggiran kota, eh di sini mah di jantung kota, kalau perlu di sebelah Istana Negara!!

Pemerintah sengaja membiarkan matinya pasar tradisional dan membesarkan pasar swalayan milik pengusaha itu-itu saja. Bagaimana bicara UKM dan SMEs kalau hal seperti ini saja tidak pernah berubah, bahkan setelah Soeharto tak berkuasa lagi?

Nah, capek deh mengritik pemerintah terus, soalnya belum tentu didengar, karena mereka juga capek kali ya? Begini saja, saya usul, bagaimana kalau kita kembali ke dasar negara kita UUD 1945 maupun Pancasila, terutama yang ada bunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” atau “kepentingan hajat orang banyak dikuasai oleh negara.” Ha ha ha, orang pasti menertawakan saya. Tapi, mana kapitalisme global dan negara adidaya yang kamu bangga-banggakan itu?

Saya hanya orang yang iri dengan nasionalisasi korporasi dan SDA di Bolivia, Venezuela ataupun Iran. Iri dengan kekuatan UKM di Taiwan dan Italia. Kita sudah mengkhianati pendiri dan para pahlawan negeri ini. Ikut larut dengan skenario kapitalisme global yang menggurita di negeri ini dengan para pendukungnya: oknum-oknum terdiri dari ekonom, perencana pembangunan, teknokrat, birokrat, parlemen, media, korporat, BUMN, PNS, NGO, pengusaha, dan sebagainya.

Dan negeri yang kaya ini terus dimiskinkan secara ekonomi dan moral karena orangorang yang berkuasa telah mabuk fulus dan kuasa. Maka saatnya kita sadar dan berubah: kembali ke citacita ibu pertiwi. Berikan kekayaan alam ini bagi pemilik negeri ini, besarkan lah pertanian dan perikanan laut, jalankanlah ekonomi kerakyatan. Jangan banyak berjudi dengan kesemuan kapitalisme itu. Bla, bla, bla, seperti dosen ekonomi saja awak ini, padahal awak tidak kuat secara ekonomi. Jayalah Indonesia, jayalah negeri ini. Astaghfirullah.

16 Oktober 2008

 

 

 Kembali

Halaman
1

Web Hosting